Sampai kapan hanya menjadi penikmat buku yang setia, di
umurku yang sudah mencapai 27 masih saja rela menjadi penonton dan pembeli. Jari
– jariku gatal ingin menulis sesuatu, merangkai cerita yang bisa dibaca oleh
orang lain.
Melihat dan membolak balikan halamana buku yang kubuka,
isinya hamper sama, dengan tema yang paling keren, tentang cinta. Aku berkesimpulan
semua buku yang telah ditulis di rak – rak itu lahir karena cinta. Bahkan buku
yang isinya sangat anti dengan ‘lebay’ juga ada karena cinta.
Dari dulu berpikir aku juga bisa menulis buku. Tapi rasa
malas sangat susah dilawan. Penyakit ini seperti tembok tebal yang sangat susah
aku jebol.
Ada begitu banyak ide yang melintas dalam pikiran untuk kujadikan
tema dan bahan cerita menulis buku. Kalau membuka kembali buku – buku harianku,
di dalamnya ada banyak synopsis cerita yang pernah kutulis tapi tidak pernah
aku lanjutkan, sinopsi – synopsis cerita hanya menjadi pemenuh halaman buku
diariku, hanya menjadi prolog yang tidak punya cerita da nisi karena enggan dan
malas untuk menulis secara lengkap.
Semangat pada awalnya besar, menggebu – gebu untuk menulis
novel, tapi kemudian berubah menjadi ragu karena mendengar salah satu ustadku
di kampus, beliau menjelaskan tidak boleh berdakwah dengan menghadirkan cerita –
cerita fiktif, karena alasan itu berdakwah lewat buku – buku fiksi juga menjadi
haram. Karena mendakwahkan sesuatu yang subtansinya hayalan.
Pertama kali mendengar penjelasan itu aku kaget, ada semacam
pertarungan batin. Aku masih belum bisa menerima pendapat itu. Karena melihat
banyak orang berubah menjadi baik karena terinsfirasi oleh novel ‘Islami’ yang
dibaca.
Ada pembaca yang mau meninggalkan narkoba gara – gara membaca
buku fiksi. Ini salah satu argumenku yang aku jadikan sandaran tentang buku
fiksi untuk dijadikan media dakwah. Argumen yang lain adalah bahwa Allah swt
mengutus setiap Nabi dan Rasul dengan bahasa kaumnya.
Ini adalah abad modern, salah satu bahasa di era ini adalah
internet, yang bisa dijadikan media untuk menyebarkan kebaikan. Menulis buku –
buku fiksi yang isinya baik dan sesuai dengan rambu – rambu Islam juga menjadi
salah satu bahasa abad ini, di dalamnya berisi ajakan – ajakan untuk kembali
pada Islam. Apakah itu tidak boleh. Kalau semua buku fiksi diharamkan, apa yang
tersisa untuk kaum muslimin?
Tapi, dalil yang dipakai oleh mereka yang mengambil pendapat
keharaman buku – buku fiksi juga kuat. Apakah argumen yang saya pakai sudah
benar atau salah. Mereka berkata kenapa harus menulis cerita – cerita hayalan
untuk untuk dijadikan media dakwah, bukankah kisah – kisah yang ada didalam al
Qur’an banyak? Juga kisah – kisah para Nabi, kisah orang – orang soleh yang
nyata kejadianya lebih utama untuk dijadikan bahan dakwah, dengan disebarkan? Daripada
menulis kisah – kisah hayalan akal.
Sejak mendengar pendapat yang mengharamkan novel yang
subtansinya adalah cerita hayalan. Membuat saya bimbang dan ragu untuk menulis,
dan keragu – raguan itu sampai sekarang masih ada. belum menemukan pendapat yang kuat yang bisa
saya jadikan pegangan. Aku juga ragu dengan pengharaman buku – buku fiksi,
karena melihat banyak manfaat yang diambil pembaca dari buku fiksi. Novel –
novel Islami juga hiburan yang bermanfaat bagi kaum muslimin. Bisa dibayangkan
kalau itu menjadi haram. Apa yang tersisa untuk kaum muslimin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar