Saya berangkat kuliyah pagi ini dengan kemeja ungu paforit
saya. Mata kuliyah yang pertama fiqh, dengan kitab bidayatul mujtahid.
Sebelum datang ke kelas kami dituntut untuk membaca kitab
itu terlebih dahulu, mata kuliyah fiqh perbandingan majhab ini pelajaran yang
berat, bahasa yang dipakai oleh sang maestro bidayatul mujtahid juga susah
dipahami. Profesor yang mengajari kamipun mengakui, butuh waktu bertahun -
tahun agar paham apa maksud dan bagaimana Ibnu Rusyd menulis kitab itu.
Profesor fiqh yang mengajar kami selama bertahun - tahun di
LIPIA, di semester akhir ini memakai gaya mengajar yang berbeda, kalau semester
- semester awal, beliau hanya calm down saja, santai tapi tetap mengasyikan.
kalau ada yang dilihat tidur, beliau
hanya akan menegur sambil tersenyum,
“ نحن نأكل رمبوة و أنت تنام أي عقل هذا
" kita sedang memakan buah rambutan yang manis, dan kamu
tidur!!"
Bagi beliau mempelajari kitab bidayatul mujtahid itu sangat
nikmat dan manis, seperti memakan buah rambutaى.
Ustad heran kalau ada yang tertidur ketika belajar dan menikmati rambutan. Itu
sindiran halus kalau tidur di kelas itu tidak punya otak. Beliau juga mengajar
dengan metode muhadhoroh, hanya membaca kitab kemudian menjelaskan, disediakan
sedikit waktu kalau ada yang ingin bertanya. Itu dulu, Setiap mahasiswa merasa
aman dengan cara beliau mengajar. tanpa ada yang khawatir akan dipermalukan.
Tapi kini,,,,,,
Di semester akhir, beliau tiba - tiba berubah menjadi
'killer'. 180 derajat berubah. Setiap mahasiswa harus siap ditanya apa maksud
perkataan Ibnu Rusyd. Tidak ada ruang dan tempat bagi pemalas di semester
akhir.
Teman – teman yang lebih dulu ditunjuk untuk maju
menjelaskan atau hanya sekedar menjawab pertanyaan beliau menjadi korban
‘pembantaian’. Mati kutu, malu, diam seribu bahasa tidak mampu berkata –
berkata untuk mejawab dan menjelaskan isi kitab. Sekali lagi kawan, kitab itu
memang susah. Untuk teman yang sperti itu, Ustad kami yang dari Mesir berkata,
“ qowwi nafsaka, wa hassin mustawaaka, liannaka dho’iif”
Perbaiki dirimu, dan tingkatkan kemampuanmu, karena
pemahamanmu sangat lemah. Luar biasa bukan bagaimana malunya kita di depan
kelas yang disaksikan akhwat.
Ada lagi teman yang tidur, ketika ditunjuk ke depan dia
hanya tersenyum tidak mampu menjawab. Sudah pasti suara tawa dari teman – teman
dibelakang sangat keras, karena mendapat kata nasihat yang pedas dari Ustad
dengan kata beliau,
“ ya jahuul”
Wahai orang bodoh! Kamipun tertawa mendengarnya. Tawa kami
itu bukan tawa penghinaan untuk teman yang tidak bisa menjawab, kami sadar, pertanyaan dari Ustad sangat susah.
Karena professor menanyakan sesuatu yang seharusnya beliau sendiri yang
menjelaskan maksud perkataan Ibnu Rusyd.
Di lain waktu beliau berkata pada teman yang mati kutu
ketika ditunjuk,
“ ya agbiya’.” Wahai orang – orang ideot.
“ ya majnuun” kamu gila!. Diiringi dengan canda dan tawa
beliau. Tawa kami di belakang lebih keras.
Nah,, tiba giliranku pagi ini, telinga kaget, jantung dag
dig dug berdetak keras, hari pembantaianku datang juga menghampiri, aduhh,,,
kataku dalam hati.
“ ayna toolib,, abdul manan al siyah abdul mu’in. “
Teman – teman tertawa mendengar nama saya dipanggil, tawa
mereka akan lebih keras lagi setelah nanti saya di depan dengan mike.
Saya angkat tangan, “ hadir ya ustad”
“ ta’al ya abdal manan, laa narooka munju qodiimin jamaan,
anta tahktafii fil waroo’.”
Maju, kedepan saya baru kali ini melihatmu, kamu nyaman
bersembunyi duduk di belakang. Ada teman yang berceloteh ketika saya maju. ‘
tolib jadi’ mahasiswa baru,
“hahaha… “ tawa mereka.
“ kamu jelaskan apa maksud kata Ibnu Rusyd’ beliau kemudian
membacakan isinya, mata saya sibuk mencari paragraph yang dibaca, dalam hati
saya berkata,” saya tau bagaimana akhir cerita ini”
Saya diam, mati kutu, diam tidak mampu berkata, bingung
tidak bisa menjawab. Hanya diam, sekali lagi diam mati kutu. Duhh,,, sangat
memalukan.
“ takallam wa laa tkhof,” ayo bicara jangan takut,
Saya masih diam tidak mampu mengeluarkan satu katapun,
tangan sedikit gemetar. Seakan setiap orang di bumi siap – siap memberikan
serang mematikan pada saya.
“ limaaja taskut, anta tudoyi’ul wakt” kenapa kamu diam,
kamu menyia – nyiakan waktu saya.” Kata professor keras.
Saya masih diam tidak mengeluarkan satu katapun.
“ nahnu nantajiruka hatta tatakallam” kami akan menunggu
kamu sampai kamu bisa menjawab dan bicara. Kata Ustad, bahkan saya tidak mampu
memandang wajahnya.
Kemdian beliau mengeluarkan guyonan hasnya, dengan bahasa
Indonesia yang dia pelajari, Ustad dari al Azhar itu berkata,
“ mas kamu sedang pacaran???” kamu tidak punya otak?”
“ hahahahahah…. “ tawa di belakang begitu keras, mereka
bahagia melihat penderitaan saya.
Beliau menjatuhkan bom atom yang meluluhlantakan pertahanan
saya. Hancur, gelak tawa teman – teman menggelegar keras.
Saya berharap bel berbunyi agar selamat dari pembantaian
ini. Sukurlah bel akhirnya berbunyi, ada kelegaan. Rasa malu yang luar biasa.
Tapi saya sudah biasa menghadapi keadaan kikuk sperti itu,
“ anta dhoiif, sa nasaluka marratan ukhro” kamu itu lemah,
nanti saya akan menguji kamu lagi.” Kata Ustad.
Sayapun kembali ke belakang. Ada wajah – wajah yang tertawa
di belakang. Celetuk mereka tidak habis,
“ pacaran” kata mereka sambil tertawa mengejek.
Inilah suasan kelas, teman - teman berharap akan ada lagi yang dibantai seperti saya, mereka juga was was takut dipanggil ke depan.
Sudahlah, ini nasib hari ini. Sedikitpun saya tidak
tersinggung. Hanya malu saja. Malu.
Saya juga sadar, nanati ketika mengajar dan memiliki banyak
murid, saya tidak akan pernah memeprmalukan anak didik saya. Saya akan
memberikan murid – murid senyum yang hangat tanpa rasa malu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar